Tuesday, December 20, 2016

MANTRA ABADI

Entah, mantra apa yang di rapalkan seabad ini
Bait-baitnya membawa musim semi menjadi panjang
Bunga-bunga berkelabat, mencengkram segala pohon
seolah tak ingin lepas
Kumbang dan segala kupu-kupu terbang hinggap dan enggan terbang lagi

Entah, mantra apa yang dinyanyikan
oleh cinta yang membara seabad ini
Lirik-liriknya mengantar hujan menyapa sepanjang musim
Ada lengan dan dekap yang ingin lekat walau musim harus terus berganti
Ada suara merdu, sendu, lembut, serak, hingga lirih, silih berganti
namun telinga selalu saja merindu

Entah, mantra apa yang dikirimkan langit
hingga hidup seabad, keluh dan peluh masih berakhir teduh
Ada mata yang selalu ingin beradu, walau rindu dihempaskan
dari jarak begitu jauh
Ada kecup yang senantiasa berbalas, namun selalu saja tak cukup

Padamu yang telah mengucap mantra cinta,
Aku ingin mencipta mantra, hingga cinta seabad tetap hidup walau
setelah bumi tiada

Karya: Anonim

Tuesday, July 12, 2016

Pangeran 2 Putri

Aku katakan ia tersesat dalam labirin hidupnya
Terlalu banyak matanya bergerak tapi langkahnya diam di tempat
Kakinya berpijak tapi jiwanya melayang mengantongi bintang dan rembulan
Berpejamlah dulu…
Lepaskan sejenak bintang dan rembulan yang kau penjarakan dalam kantongmu
Cukuplah melati yang kau sentuh dan jangan kau genggam
Cium aromanya tuk susuri jalan pulangmu
Kau bukan pangeran berkuda berbaju baja
Yang kedatangannya selalu dinanti oleh 2 putri saja
Engkau lelaki yang menanti cinta dengan segelas teh hangat ketika datang petang
Oleh wanita berparas manis di pintu impianmu
Cukuplah ia yang tahu pulangmu
Dan cukuplah engkau yang tahu pergimu menujunya
Karena hati yang menanti takkan mampu terganti
Walau hingga sampai saat purnama menjadi gerhana

Karya: Syelvi Yunita Arianti

Dia, Cukuplah Aku

Ternyata aku merindukannya
Si wanita Cina berkaca mata
Ceritanya mengalir lincah dari balik bilik suara telepon yang ku punya
Kali ini kubiarkan suaranya menyatu dalam melodi alam semesta
Renyah tawanya…
Seperti ia berada disebelah jiwaku
Dekat dan menghangatkan tubuhku yang selalu nyaman merasukinya
Dunianya adalah miliknya dengan kumpulan-kumpulan keunikannya
Dia adalah dia
Dia, wanita putih yang senang bercerita,
Dia, wanita bahagia yang menyusun berbagai kata dunia dilembaran hasil hutan-Nya,
Dia, wanita yang selalu bernyanyi dalam lekukan nada-nada bermelodi
Dia, wanita penuh kasih sayang untuk sang Pangerannya
Hanya dia yang sungguh tahu siapa dirinya
Tapi, cukuplah aku menjadi langitmu ketika bumi tak percayamu
Cukuplah aku menjadi daunmu ketika bunga melukaimu
Cukuplah aku menjadi batumu ketika gunung menjatuhkanmu
Dan cukuplah malam temanimu ketika jarak menghalangi pelukku

karya: Syelvi Yunita Arianti

Friday, April 8, 2016

Rimbun Kata para Sahabat

Entah berawal dari mana persahabat ini dimulai, semua berjalan begitu saja akhirnya kami ber-3 pun menjadi akrab dan bisa dibilang pertemanan bukan hanya sekedar teman biasa, namun sudah bisa di cap sebagai sahabat, walau masih hutungan bulan sich sebenarnya ^_^.
Persahabatan ini disebut dengan nama "KITA"

Disaat orang lain tidak telalu peduli sama KITA, kami ber-3 tetap saling mendukung satu sama lain, saling support dan memberikan semangat.

Arti sahabat buatku sangat simple selalu ada buat kita tanpa terpisah jarak dan waktu, walaupun berjauhan namun dekat dihati, 

Gak perlu setiap hari berkomunikasi namun saat merindukan mereka tinggal hubungi saja dan suasana komunikasi tetap hangattt, bisa menceritakan hal-hal sepele yang terkadang basi bahkan, bahkan rahasia penting dalam hidupmu ada di tangan mereka, wkwkwkwk tertawa bareng, bahkan saat sedih bersedia meminjamkan bahu, rela jadi ojek untuk mengantarmu kemana aja, walau kesal tetap aja manut, kalau lagi sakit ada yang kerokin mijitin bahu dan kakimu, buatkan bubur, antarin ke dokter, ngobrol ngalur ngidul sampe tengah-tengah malam, menulis puisi bersama, diskusi bersama, ampe curcol masalah perasaan, gebetan, calon istri, semua komplit dech, gak mulus-mulus aja jalannya sampe marah-marah juga ada gara2 ngeyel kalau dinasehatin.
Hal positif dari persahabatan KITA bagi ku pribadi adalah jadi mulai suka membaca, karena si A yang ngenalin dan nularin hobby nya yang suka membaca banyak buku dan kajian, trus kalau si B suka nulis puisi ku juga ketularan, walaupun belum se-lihai mereka. Mudahan ada hal positif dari gw si AB untuk mereka ber-2 yach, amin.

Itulah sedikit kisahku dengan KITA, walaupun sekarang kami sudah berpisah kota, mencar-mencar untuk mengejar mimpi masing-masing, namun doaku supaya persahabatan ini abadi, tak lekang oleh waktu.
KITA sudah menjadi bagian dalam kisah kehidupan masing-masing kami, yang nantinya dapat diceritakan kepada siapapun, dikala tua pada sudah sukses dan hidup masing-masing akan tetap mengingat hari-hari bersama. Miss u Guys.....
Corat-coret tulisan ini aku dedikasikan untuk kalian #colek inisial SYA (Gol. B), ZHJ alias Ich  (Gol A), dan aku sendiri si Gol AB. Karenaku yang AB adalah gabungan mereka, maka  aku akan selalu mereka rindukan, huahhahaaa maunya GR sendiri nich, tapi iya khan kalian selalu merindukanku?
Walau si B adalah si bungsu namun terkadang si AB juga gk kalah kenak-kanakannya, klo si A mah suka bikin kesel klo nunggu dia ngomong lamaaaaaaaaaa dan lelettttttt ampyun dech.

Berikut adalah beberapa penggalan puisi "Rimbun Kata" yang kami buat bersahut-sahutan dalam chat group KITA selama 2 hari berturut-turut, sampai subuh-subuh segala, hahahaha.....
Selamat menyimak untuk KITA ^_^

Malam ke-1
Si A : Aku ingin anakku masuk Surga, mungkinkah dibawah telapak kakimu impianku bisa terwujud
Si B : Hujan mengejarku dalam pelukan malam. Mungkin ia ingin menggangguku tuk wujudkan mimpimu
Si A : Jikapun harus sakit karna mencintaimu, lalu kemudian kehilanganmu. Terima kasih, karena itu juga sebuah kehormatan lalu kemudian tetap kehilanganmu
Si B : Aku merasa itu ketulusan, layaknya bintang yang tak beranjak dari malam walau rembulan tak mampir
Si AB : Rasa sakit bukan milikmu seorang, karena kita satu saling berbagi kesakitan yang tercipta
Si B : Hingga nanti, ketika satu tak lagi jadi Kau dan aku. Tak usah ada cipta jika hanya sakit yang ada
Si AB: Apa itu cipta? Dia hanya ada di angan-angan. Angan sakit atau bahagia semua melebur menjadi satu
Si A : Ada luka pada jarak, ada rindu pada waktu, tapi mata dan senyummu adalah merpati yang tak henti mengirimkan pesan keabadian
Si B : Perlahan dia merubah jadi semu, angan pun kelabu. Karna merpati tak mampu satukan pesanmu pesanku
Si AB: Kelabu membayang mencari warnamu, tak pernah pudar walau tak kunjung hadir
Si B : Tersesat dirimbun petunjuk hari yang memburam, meletakkan telunjuk, ini hati bukan kompas dunia. Tak ada Kau
Si A : Ada hening pada pekat malam yang kadang menyesakkan, tapi selalu ada nyanyian ayam yang selalu menuntunmu menjemput pagi, dan terang membawa hatimu kembali, jadi bening.
Si B : Sebening senyummu yang engkau sajikan untukku dan kan kuseruput hangat pelukmu menyambut pagi.
Si AB : Sejumput harap berbaris menyongsong mentari pagi, karna kuyakin hadirmu nyata
Si A : Ahh... saya tidak tak selalu yakin, apakah kau masih percaya pada mentari yang lama tak berimu hangat, karena kini ia membagi hangatnya pada rerumputan dihalaman rumah yang lain, pada rumah yang tak ia jua yakini sebagai tempat kembali melepas lelah
Si B : Mentari kan datang lagi... Entah tuk mencariku atau hanya berlindung dibalik mendung
karna ia kan selalu pulang pada peraduannya bukan pada rumput dihalaman rumah yang lain
Si A : Ataukah ia hadir dalam wajah terik siang, memaksamu tuk tetap berdiri, saat tubuhmu dan bayangannya saling membunuh
Si B : Akan kunikmati... Karna tiap rintik cairan tubuhku akan menyejukkan wajahnya yang memanas
Si AB : Terikmu berpelangi memancarkan rona bayangmu, rona yang membunuhku dalam kerinduan
Si A : Peluh keringat dalam buih dari perih oleh guratan terik, kemana wajahmu akan menatap ketika kilau cahaya mengaburkan dan tak mengabarkan apa-apa
Si B : Kerinduan ini hidup, lantang nyanyikan lekukan wajahmu... Engkau tahu sampai kini pun aku memeluk bayangmu bersorot kilau dunia yang menduakanmu.
Hangatku mampu menuntunmu tuk pulang...
Si AB : Hangatnya persahabatan yang selalu merindu, yang mengantar kita keperaduan. Esok bayangmu akan menjemput kita kembali beradu
Si B : Waktu tak selalu bersahabat ketika kita berubah jadi satu
Si AB : Jadikan waktu sahabatmu, kelak kau dapat bermain dengannya

Malam ke-2
Si A : Ada malam yang terus berbisik; aku ingin menghapus bekas bibirnya dibibirmu dengan bibirku
Si B : Sekali kecup kurasa cukup, dan akan kugoda lagi malam tuk membisikkan kecupanku di daun telingamu
Si AB: Manizz lembut saat bibir itu bertautan, menambah rindu. Gelombang magnet menarik kuat ingatan... ingin kuulang rasa nan memikat seperti mawar berhias duri
Si A : Dua mata jendela sedang menatap lesu, dibaliknya ada wajah lusuh sedari tadi membayang bisu, ada haru rindu yang tak jua berujung biru
Si AB : Tarikan nafasmu begitu merdu bersenandung di telingaku... rindu yang terlampau getir membuat tak berdaya.. segera pulang ada penantian disini
Si B: Aku tertahan hembusan rindu yang menyeruak ingin mati, membelenggu cinta yang menusuk dalam kenangan menggantung wajah menanti, berhentilah.... Aku kan tenggelamkan hampa dalam samudra tak berbekas
Si AB : Rindu ini nyata bergantungan dilangit tidurku, semakin lama bergelayut mendekap tubuh yang terkulai menanti rasa
Tawa mengalir disela kerinduan, tangis menari diatas kesepain. Sepi karna kecupmu tak bersuara, tak datang dalam malamku
Si A : Kekasihku, engkau tahu rindu yang dijelmakan pertemuan adalah perjamuan penuh magis, ketika kehangatan pelukan membekukan tubuh, ketika kata-kata tak mampu berkata-kata karena sesak oleh dekapan
Si B : Perjamuan paling magis diantara kecupan tak bersua menanti di singgasana labuan cinta berpelangi taburan bintang, kuharap mentari telat tuk mampir
Si A : Ada pelangi menyeruak dipenghujung hujan, disana ada matamu memantulkan arakan warna menuju mataku, dan begitulah alasan hujan datang kembali, menitikkan berulang air mata dan berulang pelangi
Si B : Tahukah, kuharap ada penghulu diantara mata yang dipertemukan… Aku lelah hanya bersama hujan dan menari di atas rembulan… mendengar celoteh mentari kian hari kian gersang, Adakah lingkaran kan melekat di jari manisku darimu?
Si AB : Akan tiba masa jarimu berpenghuni, merasuk relung tiap tetes darahmu hingga tak mungkin terpisahkan. Adakah sabar menanti masa itu?
Si A : Engkau tahu dua mata jendela sedang gelisah, kacanya tak lagi kilau selayak wajah yang senantiasa menjadikannya bayang, kemanakah wajah bening dengan senyum mengurai segala kebekuan? Disini ada sepasang jendela yang turut duka menyaksikannya meraju
Si AB : Sepasang jendela sayup tertutup dibalik pekat, sang penguasa malam bersembunyi dibalik peraduan mengajak siapapun mendekat

Wajah Mungil

Meninggalkan langkah dalam tapak kaki berlumpur kampung halaman
Perlahan dengarkan hati berbisik kian mengusik
“Pergilah… bujuk waktu yang semakin liar”
Mataku menari mencoba menggapai detik untuk bisa berjalan perlahan
Lebih pelan… atau bahkan berjalanlah dengan sangat pelan
Waktu tak bergeming dalam denting yang terus bernyanyi berputar
Aku tak bisa berirama dengan waktu karena ku merindu
Merindu kekasih berwajah mungil merangkak tuk digapai
Wajah manis penuh tawa dan senyum berseri
Mentari selalu bahagia menyambutnya dan aku cemburu
Aku terlalu jauh dari wajah mungil
Yang kian hari bernyanyi bersama mentari dan menari dengan waktu
Tidakkah kau merinduku…
Berhentilah bernyanyi dan menari sejenak, hanya sejenak
Dan rebahkan pelukmu ditubuhku yang rapuh mengejar waktu
Biarkan kulitmu melekat dihangat sentuhku yang menguasaimu
Dan tersenyumlah ketika kecupanku mencoba menyampaikan rahasia hatiku
Aku menyayangimmu

Wahai pemilik wajah mungil…

Karya: Syelvi Yunita Arianti 

Tuesday, March 1, 2016

PENGUASA MALAM

Langit pekat legam memayungi malam
Hitamnya bermandikan serakan butiran putih

Gugusan pulau hadir diantaranya, berjalan kesana kemari
Menari menemani sang penguasa malam yang tak ingin kesepian sendiri

Terdengar sayup suara mengalir, membisik sang penguasa malam
"Hadirku selalu memandangmu dari kejauhan, berharap kau tahu aku ada"

Sunday, February 28, 2016

WANITA

Aku terlalu bahagia menjadi lemah hingga ku tak sadar tangisku berdarah
Hatiku selalu berganti musim menahan sikapmu yang semakin sering berubah
Terlalu kuatku menghadang badai tapi rapuh atas hembusan senyummu menipu
Rasaku memang bukan untuk kau cicipi setiap pagi dan kau hirup ketika malam
Tapi aku terlalu lelah sekarang…
Terlalu banyak rasa untukmu di langitku tapi kelabu tak berpelangi
Aku ingin mencoba menjadi dirimu layaknya robot yang terfokus pada garis hitam
Mungkin akan kulakukan suatu saat nanti karena sekarang kita sedang berlomba untuk saling melupakan
Karna yang akan teringat nanti hanya engkau seorang lelaki
Kurasa begitupun aku diingatanmu kelak

Hanya seorang Wanita

Karya: Syelvi Yunita Arianti



Pendengar Telepon

Ada sentuhan lembut saat panggilan bergetar itu menyapa kantong celanamu
Wanitamu… kurasa
Cukup lama kau pandangi benda layar sentuh persegi itu
Sebelum seribu kata kerja merangkul menjadi kalimat di otakmu
Bukan salam hanya sapaan biasa dari gerakan ringan bibirmu
“Hallo..”
Suara beratmu masuk ke pori-pori telepon yang kau genggam di jemari kananmu
Pandanganku berlari kesana kemari
Menarik diri dari peredaran tukar susunan kata antara kau dan dia yang entah siapa
Tapi, telingaku selalu kembali mendekati sumber bahasa tak asing
Telingaku memang selalu tak bisa berjalan bersama dengan mataku

Aku pendengar telepon yang tak berkomentar
Hanya bergumam sedikit dalam kalbuku
Mengagumi suara beratmu
Aku pendengar telepon yang berkhayal dikemudian 
Aku menjadi sang pendengar suaramu bukan pendengar teleponmu

Karya: Syelvi Yunita Arianti

Monday, January 4, 2016

Hadir.... Kini

Dia, menari menghembus jingga berwarna tak berbayang
Menggoyangkan lekuk awan dalam mentari berselendang
Melangkah dan melompat kecil menorehkan jajaran bintang
Tak lihat senyuman mentari mengekang

Dia, hamparan ranting tua tak berbunyi
Melayang tinggal hanyut dalam sunyi
Berdenting dihempas kaki bernyanyi
Kemana sore kini?

Dia, mengulang tanya tak bertepi
Merintih… Mencari jingga yang menari
Menjulangkan tangan menarik selendang sang mentari

Cukuplah senja yang kan hadir… kini…

Karya: Syelvi Yunita Arianti